Onani Bagi Wanita di Bulan Puasa

PERTANYAAN: Seandainya ada seorang wanita yang melakukan hal sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita jalang, yakni perbuatan memainkan dengan dirinya sendiri, lalu keluar spermanya [6], padahal ia sedang berpuasa, apakah dengan ini batal puasanya? Wajibkah baginya membayar kaffarah tertentu? Dan apa itu?

JAWABAN:

Satu kelompok dari kalangan ahli ilmu berpendapat, bahwa wanita itu telah berbuka (batal puasanya) sesuai dengan hadits qudsi: “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Namun di sana ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syahwat adalah syahwat jima’. Dengan didasari pendapat ini, maka perbuatan tersebut tidak membatalkan puasa. Wallahu a’lam.

Adapun untuk kaffarah, maka tidak aku ketahui bahwa baginya ada kaffarah tertentu. Tidaklah dibolehkan menyejajarkan perbuatan tersebut dengan perbuatan orang yang melakukan jima’ dan ini dinilai sangatlah jauh (berbeda). Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Kaffarah adz-dzihar dari jima’ adalah penghapus dosa orang yang menyatakan kepada istrinya, kamu seperti punggung ibuku (berarti orang tersebut mengharamkan dirinya untuk menggauli istrinya) tentang hukum orang yang melakukan perbuatan ini dapat dilihat di dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 1-4 (-pent).

[2] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan keringanan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dan mengangkat hal yang dulu di awal permulaan Islam, bahwasanya apabila salah seorang dari mereka telah berbuka, dihalalkan baginya makan dan minum serta jima’ sampai batas waktu shalat Isya’, atau tidur sebelum itu, maka kapanpun ia tidur atau menegakkan shalat Isya’ diharamkan baginya makan dan minum serta jima’ hingga malam berikutnya, untuk itu mereka menjumpai keberatan yang besar dan “ar-rats” bermakna jima’ (bersetubuh).

Aku (Mustafa) berkata: Ayat ini diturunkan dalam rangka memberi keringanan bagi mereka dalam mendatangi istri-istri mereka sepanjang malam sampai batas waktu terbitnya fajar. Wallahu a’lam.

[3] Dan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi: “Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku ….” Dan orang ini tidak meninggalkan syahwatnya. Wallahu a’lam.

[4] Maksud mencumbu di sini hanya sekedar bercumbu mesra dengan melakukan ciuman, pelukan dan lain-lain, selain hubungan badan (jima’). Sebab jima’ adalah termasuk hal yang membatalkan puasa tanpa ada khilaf padanya -pent.

[5] Keterangan di atas menjelaskan, bahwa dalil yang digunakan oleh orang yang mengkhususkan ciuman di waktu sedang berpuasa hanya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil yang dibawakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan: “Siapakah yang paling bisa menahan hasratnya dari kalian.” Padahal hadits ini dalam kaitan dengan cumbuan Nabi dengan istrinya ketika istrinya sedang haid, sebagaimana dalam riwayat, beliau memerintahkan kepada istrinya untuk menutupi kemaluannya dengan sarung apabila si istri sedang haid, lalu setelah itu beliau mencumbuinya. Barulah setelah itu ucapan ‘Aisyah: “Siapakah yang paling bisa ….” Kalau memang ada kekhususan bagi orang yang berpuasa, maka menggauli wanita yang sedang haid tentunya ada kekhususannya pula, jika demikian keadaannya, karena menggauli wanita yang sedang haid itu lebih berbahaya daripada menggauli wanita dalam keadaan berpuasa. Mengapa? Karena ketika wanita sedang haid, sang suami akan menunggu berhari-hari tanpa jima’/hubungan badan dengannya, sehingga syahwatnya benar-benar (akan) memuncak yang dikhawatirkan sulit untuk dikendalikan. Adapun bagi orang yang berpuasa tidaklah demikian, emosi syahwatnya lebih bisa dikendalikan karena pada waktu malam mereka bisa menggauli istri-istrinya (-pent.).

[6] Maksud pertanyaan di atas adalah tentang bagaimana hukum seorang wanita yang sedang berpuasa melakukan masturbasi (yaitu mempermainkan alat kelaminnya dengan tangan atau lainnya sampai mengeluarkan sperma), sedangkan untuk kaum lelaki perbuatan itu disebut onani. Kedua perbuatan tersebut (masturbasi dan onani) sesuai dengan pendapat kebanyakan para ulama diharamkan, lebih-lebih bila dilakukan di bulan Ramadhan (-pent.).

Sumber: Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Bin Utsaimin, Syaikh ‘Ali Hasan, Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh bin Jibrin (penerjemah/penyusun: Hannan Hoesin Bahannan dkk), penerbit: Maktabah Salafy Press, Tegal. Cet. Pertana, Rajab 1423 H / September 2002 M. Hal. 183, 186-202.

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fatwa-ulama/tanya-jawab-seputar-hubungan-suami-istri-di-bulan-ramadhan/

Tinggalkan komentar